Selasa, 28 Februari 2012

10 hal yang tidak bermanfaat dan sia sia

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengatakan bahwa ada sepuluh hal yang tidak bermanfaat.
Pertama: memiliki ilmu namun tidak diamalkan.
Kedua: beramal namun tidak ikhlash dan tidak mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketiga: memiliki harta namun enggan untuk menginfakkan. Harta tersebut tidak digunakan untuk hal yang bermanfaat di dunia dan juga tidak diutamakan untuk kepentingan akhirat.

Keempat: hati yang kosong dari cinta dan rindu pada Allah.
Kelima: badan yang lalai dari taat dan mengabdi pada Allah.
Keenam: cinta yang di dalamnya tidak ada ridho dari yang dicintai dan cinta yang tidak mau patuh pada perintah-Nya.
Ketujuh: waktu yang tidak diisi dengan kebaikan dan pendekatan diri pada Allah.
Kedelapan: pikiran yang selalu berputar pada hal yang tidak bermanfaat.
Kesembilan: pekerjaan yang tidak membuatmu semakin mengabdi pada Allah dan juga tidak memperbaiki urusan duniamu.
Kesepuluh: rasa takut dan rasa harap pada makhluk yang dia sendiri berada pada genggaman Allah. Makhluk tersebut tidak dapat melepaskan bahaya dan mendatangkan manfaat pada dirinya, juga tidak dapat menghidupkan dan mematikan serta tidak dapat menghidupkan yang sudah mati.
Itulah sepuluh hal yang melalaikan dan sia-sia. Di antara sepuluh hal tersebut yang paling berbahaya dan merupakan asal muasal segala macam kelalaian adalah dua hal yaitu: hati yang selalu lalai dan waktu yang tersia-siakan.
Hati yang lalai akan membuat seseorang mengutamakan dunia daripada akhirat, sehingga dia cenderung mengikuti hawa nafsu. Sedangkan menyia-nyiakan waktu akan membuat seseorang panjang angan-angan.
Padahal segala macam kerusakan terkumpul karena mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Sedangkan segala macam kebaikan ada karena mengikuti al huda (petunjuk) dan selalu menyiapkan diri untuk berjumpa dengan Rabb semesta alam.
Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Rujukan: Al Fawa’id, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, hal. 108,  Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1425 H.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com

Jumat, 17 Februari 2012

let it go


LET IT GO
“ Sampun bu, mboten usah katahan pikiran “

Entah sudah berapa ribu kali kalimat itu terucap dariku untuk pasien pasienku but still.. mengucapkan itu lebih mudah daripada melakukan. Masih saja aku yang tidak bisa melepaskan diri dari pikiran yang membelit.

Kadang iri melihat suamiku memecahkan berbagai masalah dengan satu solusi : tidur. Ya, Dihadapkan dengan masalah apapun, dia pasti langsung tidur dengan enaknya.Pembelaan diri favoritnya adalah “ daripada stress mending tidur, ketika bangun, perasaan segar, maka kita akan bisa berpikir lebih baik”
Begitu juga kali ini, seharusnya aku bisa melepaskan. Ikhlas.Rela. Let it go... semua peristiwa di alam ini sudah diatur oleh Allah 50ribu tahun sebelumnya, and there’s nothing i can do to change that. Tentu saja pasti akan sering berhadapan dengan situasi yang tidak enak, keadaan yang menjengkelkan, tidak sesuai mau kita, tidak ‘ideal’, tapi kita tidak bisa melakukan apa apa. Maka di saat itulah ujian terberat menurutku. Yaitu kita harus sabar menjalaninya. Sabar bahwa itu tidak sesuai dengan keinginan kita, sabar untuk tidak marah, sabar untuk tidak melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain, karena ketika kita sedang diuji, pasti keinginan untuk menyakiti orang lain yang tampak bahagia, akan jauh lebih besar. Karena disitulah kipas setan mulai berkibar membesarkan api iri, dengki, dosa pertama syaitan.

Let it go... karena ketika kita bisa menerima keadaan, maka kita bisa melihat masalah dengan lebih jernih, dan insyaAllah kita akan bisa melihat jalan keluar dari permasalahan ini. Let it go.. karena ketika kita memutuskan ikhlas dan pasrah sesuai ketentuanNYA maka akan terlihatlah jalan yang kita pilih,jalan yang ‘ideal’ menurut kita belum tentu adalah jalan yang terbaik menurutNya dan baru kita ketahui nanti. Let it go, dan terimalah pilihan Allah pasti yang terbaik, cukup kita sabar ikhlas mengikuti jalan takdirNya. 

Boleh jadi kamu mengira sesuatu itu baik adanya...

Rabu, 08 Februari 2012

amanah baruku


Hari ini sebuah amanah baru kuemban dalam genggamanku, meskipun tidak seperti yang aku perkirakan sebelumnya, maka aku ingin tetap berbaik sangka pada Allah yang sudah mengaruniaiku rejeki ini, dan aku yakin (Ya Allah kuatkanlah keyakinanku ini)  bahwa Allah pasti memberikan yang terbaik bagi hambaNya meskipun hambaNya belum mengetahui hal itu sekarang.

Kemarin ketika merenungkan pekerjaanku, waktu yang kuhabiskan, dan amal saleh yang kulakukan, aku tercenung memikirkan betapa banyak waktuku tersia –sia jika aku melakukan pekerjaan yang tidak mencari ridhaNya. Bayangnkan, aku berada di kantor selama 5-6 jam sehari dan berapa banyak dari waktuku itu tersia tanpa melakukan amal shaleh untukNya? Tapi hal yang paling kutakutkan adalah waktuku di kantor habis untuk melakukan sesuatu yang tidak diridhoiNya, padahal berapakah waktu yang tersisa untukku Ya Allah? 

Aku selalu takut akan amanah memegang uang dan kekuasaan, karena aku tahu tiga hal yang memabukkan manusia adalah harta, tahta, dan wanita. Wanita dalam hal aku sebagai seorang perempuan mungkin bisa kuganti dengan godaan cinta. Aku takut ketika gerbang kekuasaan dan harta itu terbuka, aku tidak bisa lari darinya atau pekerjaanku tergadaikan di situ, sungguh, aku tak mau, lindungilah aku Ya Allah dari berhadapan dengan situasi seperti itu. Aku ingin semua yang dimakan aku dan keluargaku tetaplah halal dan berkah. 

Semakin kurenungkan, semakin mantaplah aku bahwa apa yang kuinginkan dalam pekerjaan bukanlah kekuasaannya (meskipun kuakui, ya, itu menggoda), bukan juga harta nya (insyaAllah harta yang kudapat selama ini bisa mencukupi dan terpenting adalah berkahnya) taoi aku ingin bekerja dimana bisa menjadi tabungan amal shalehku di akhirat kelak, aku ingin membagi ilmu pengetahuan sebanyak banyaknya, aku ingin mempersiapkan amalan shaleh yang bisa terus mengalir di kuburku kelak. Aku ingin mencapai kepuasan dalam memperdalam ilmu sebanyak banyaknya dan membagi ilmuku seluas mungkin.

Selasa, 07 Februari 2012

SEDEKAH

Sedekah. Suatu kata yang gampang diucapkan, tapi nyatanya tidak selalu mudah dilakukan. Berapa kali kita berjanji pada diri kita sendiri bahwa suatu hari nanti kita akan bersedekah sebanyak banyaknya ketika sudah mempunyai cukup banyak uang, tapi apa kenyataannya? Ketika tangan kita akhirnya memegang uang yang kita syaratkan sendiri, kenapa terasa begitu berat mengeluarkan sedekahnya?
 
Pada saat akan mengeluarkan sedekah, terbayang beratnya usaha yang dikeluarkan untuk meraih uang sejumlah yang kita pegang. Tiba tiba kita membayangkan jam-jam kerja panjang yang kita tabung, beratnya perjalanan ke tempat kerja, usaha kita untuk menahan keinginan membeli berbagai barang...dan sekarang? Ketika uangnya telah ada di tangan kita, apakah akan begitu mudahnya kita sedekahkan?

Anak Adam berkata: "Hartaku... hartaku..." Nabi Saw bersabda: "Adakah hartamu, hai anak Adam kecuali yang telah kamu belanjakan untuk makan atau membeli sandang lalu kumal, atau sedekahkan lalu kamu tinggalkan." (HR. Muslim)

Ya sesungguhnya jika kita renungkan sebentar saja, maka apa saja yang kita beli itu hanya akan berakhir 2 hal : makan atau sandang. Dan jika kita renungkan lebih lanjut maka hal itu akan membawa ke mana? Makanan akan dicerna tubuh kita menjadi kotoran. Entah itu berasal dari warung hik pinggir jalan senilai seribu rupiah ataukah berasal dari restoran papan atas di Paris seperti yang banyak dinikmati orang-orang super kaya di negara ini sekalipun maka itu hanya akan berakhir menjadi kotoran. 

Kedua, apa saja yang kita beli apakah itu pakaian murah ataukah pakaian mahal seharga puluhan juta yang hanya sekali dipakai oleh sang artis atau pejabat, maka kain itu pasti suatu hari nanti akan berakhir menjadi rombeng. Adakah yang bisa menemukan gaun indah milik ratu majapahit misalnya? Sekarang kain itu kemungkinan besar sudah menjadi rombeng. Begitu juga rumah yang kita beli, suatu hari nanti pastilah ada yang akan merobohkannya, merenovasinya, atau membelinya dan kayu serta semen itu akan menjadi rombeng.

Pertanyaan besarnya, lalu apakah harta kita yang sebenarnya?  Harta kita yang sebenarnya adalah harta yang kita nafkahkan di jalan Allah... harta yang kita sedekahkan dengan ikhlas karena untuk memenuhi perintah Allah semata, insya Allah harta itulah yang akan menjadi harta abadi kita. Jadi kalau mau menghitung, berapakah harta kita sebenarnya? 

Misalkan dalam satu bulan ini, gaji kita sejumlah 2 juta. 1 juta untuk beras, belanja bulanan, makan minum maka itu akan menjadi (maaf) kotoran. Selanjutnya 500 ribu untuk kita membeli baju, tas, sepatu, sofa mebel terbaru, maka itu akan menjadi rombeng. Selanjutnya 300 ribu untuk ditabung di bank, maka jika belum kita manfaatkan itu adalah hak ahli waris kita nanti , sedangkan 200 ribu kita sedekahkan. Maka sesungguhnya harta kita sebenarnya adalah 200 ribu itu. Saldo kita di tabungan yang abadi adalah 200 ribu itu. –Wallahu Alam-

Pernah ada cerita tentang orang yang paling rugi, dimana ia telah bekerja keras sepanjang hidupnya, tidak pernah makan kenyang, dan tak mau memberi kepada yang membutuhkan, hartanya ia kikir dan ditabung sampai menumpuk. Akan tetapi ajalnya telah mendahuluinya, dan alangkah menyesalnya ia ketika kelak mengetahui siksa kepadanya tetaplah kekal, sedangkan harta yang ia kumpulkan setengah mati dan menjadi warisan disedekahkan oleh si ahli waris. Ahli waris ini mengumpulkan banyak pahala dari harta yang ia kumpulkan, dan ia memperoleh siksa karena kekikirannya. Alangkah meruginya!!

Kemarin saya disentakkan oleh cerita lugu dari tukang sayur di depan kantor saya. Saya bertanya apa yang dia lakukan dengan sisa sayur yang tidak laku hari itu? Dengan lugunya ia menjawab ia memberikan sebagian sayur yang tidak laku kepada tetangga depan rumahnya, yaitu seorang anak yatim dan ibunya. Masya Allah, saya tersentak. Tukang sayur yang tidak tetap penghasilannya ini lebih banyak bersedekah daripada saya! Setiap hari dia mensedekahkan mungkin setengah sampai tiga perempat hasil modalnya dengan ikhlas tanpa perhitungan untung-rugi, sedangkan saya tak pernah mensedekahkan setengah gaji saya setiap bulan. Ya Allah betapa kau menegur aku....

-peringatan untuk diri sendiri-

Rejeki orang lain

Melihat rejeki orang lain

" Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai)bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu"
(QS Taha, 20 : 13)

Masalah rejeki, kata orang jawa "hidup itu gur sawang sinawang" yang artinya hidup itu cuma saling lihat melihat, saling membandingkan satu sama lain. Ibaratnya "rumput tetangga selalu lebih hijau". Jarang sekali kita puas dengan kehidupan kita, jarang sekali kita mensyukuri rejeki yang ada pada kita, kita hanya sibuk membandingkan dan terus membandingkan. Padahal membandingkan tidak akan pernah selesai.

Padahal kita dianjurkan untuk selalu berlomba-lomba dalam kebajikan. tapi kenyataannya? Kenyataannya kita lebih banyak sibuk berlomba dalam mencari materi, dan tidak pernah puas. punya kerjaan, ingin mobil. punya mobil, ingin rumah. punya rumah , ingin sekolah yang lebih bagus untuk anak, punya semuanya, ingin jalan-jalan ke luar negeri.setelah jalan-jalan, ingin punya villa di sana. pertanyaannya, kapan selesainya?

" kamu telah dilalaikan oleh kemewahan hingga kamu masuk ke liang kubur" (QS At-Takasur 1;2)

Ya, mencari kemewahan itu hanya akan berhenti setelah masuk liang kubur, artinya manusia tidak akan pernah puas mencari kemewahan untuk dirinya sendiri. tidak akan pernah puas,maka banyak-banyaklah bersyukur dan jadikan ridha Allah sebagai tujuan akhir, insya Allah kita akan merasa cukup, karena bukankah sesuai ayat awal tadi bahwa kenikmatan yang diberikan kepada beberapa golongan itu hanyalah bunga kehidupan dunia, dan kesenangan itu justru merupakan ujian dari Allah untuk kita, apakah kita akan iri, dengki, kikir, berbuat maksiat dengan kekayaan yang berlimpah. ataukah kita akan berusaha zuhud, berhati-hati dari berbuat riya, bersyukur dengan bersedekah?

kita yang memutuskan, dan kita tidak akan bisa memutuskan berbuat baik selain dengan pertolongan Allah. maka banyak-banyaklah meminta pertolonganNya dan sisakan hati dan waktu kita untuk berhenti dan bersyukur.